Pemimpin wanita, mengapa tidak!
Dewasa ini, semakin banyak orang
perempuan yang “menampakkan diri” untuk menjadi menjadi pemimpin, bahkan
sebagian mereka ada yang sudah diterima dan dipercayai oleh publik untuk
menjadi pemimpin mereka, baik yang bersekala kecil, seperti kades, camat
ataupun yang bersekala besar, seperti bupati, gubernur, perdana mentri bahkan
presiden sekalipun, contoh Yingluck Shinawatara; perdana mentri wanita pertama
Thailand, Tri Rismaharini; wali kota Surabaya, Sri Mulyani; direktur pelaksana
bank dunia dan Megawati Sukarno putri; mantan presiden Indonesia yang sekarang
masih menjabat sebagai ketua PDI Perjuangan. Mereka hanya sebagian kecil dari
pemimpin-pemimpin perempuan yang kita ketahui saja, belum lagi meraka yang memimpin
di lembaga-lembaga pendidikan, bisnis, organisasi kemasyrakatan dan lain
sebagainya. belum lagi muncul nama-nama
baru yang sudah menyiapkan diri untuk tampil sebagai pemimpin-pemimpin wanita
baru. Sebut saja Ani Yudhoyono, istri Presiden kita yang sudah ancang-ancang
untuk mencalonkan diri sebagai suksesor sang suami, hampir sama dengan Tantriana
Aminuddin, yang bahkan sudah melanjutkan estafet kepemimpinan sang suami Hasan
Aminuddin sebagai Bupati Probolinggo. Ini menunjukkan bahwa kepemimpinan sudah
tidak lagi dimonopoli oleh kaum pria.
Hal ini menimbulkan pro kontra antara
yang setuju dan menolaknya dan menimbulkan beberapa pertanyaan, bagaimana
sebenarnya pandangan islam terhadap kepemimpinan wanita? Bolehkah seorang
wanita menjadi peimpin, kalau boleh apa argumentasinya? Jika tidak apa
penyebabnya?
Hampir seluruh ulama’ fiqh (fuqoha’) yang
melarang keterlibatan perempuan dalam hal kepemimpinan, mereka berlandaskan
pada hadis yang diriwayatkan oleh Al-bukhori :
عن ابي بكرة قال رسول الله صلى الله عليه
وسلم لن يفلح قوم ولوا امرهم امراة (رواه البخاري)
“Diriwayatkan dari Abi Bakroh, Rasulullah SAW bersabda “tidak akan
pernah bahagia suatu kaum yang menjadikan seorang perempuan memimpin urusan
mereka”. (HR. Bukhari).
Di samping hadis ini mereka memaparkan
argument penguat, mereka mengangap perempuan adalah makhluk tuhan yang lemah,
lemah akal maupun lemah fisik. Sehingga, seorang wanita tidak diperbolehkan
dalam segala bidang yang mengurusi
urusan orang banyak yang kemudian “dikerucutkan” oleh Abu Hanifah,
beliau berpendapat bahwa seorang wanita boleh menjadi pemimpin tapi hanya
sebagi hakim yang mengurusi perkara-perkara perdata saja. Akan tetapi ada pula pendapat yang ekstrem yang di kemukakan
oleh imam Jarir At-Thabari, beliau berpendapat bahwa seorang wanita boleh
menjadi pemimpin di segala urusan kepemmpinan yang langsung difonis pendapat
yang syadz dan menentang ijma’ oleh imam Al-mawardi dalam kitab Ahkam
As-shulthoniyah .
Dari segi dalil hadits di atas tidak
mencukupi syarat untuk melarang seorang wanita melibatkan diri di pos-pos kepemimpinan
karena menurut ulama’ ushul fiqh (ushuliyyin) sebuah nash (Al-qur’an dan hadis)
belum bisa dianggap larangan kecuali memuat setidaknya hal-hal berikut:
1. Secara redaksional nash dengan tegas
mengharamkan
2. Nash dengan tegas melarangnya dengan bentuk
nahi
3. Nash diikuti oleh ancaman
4. Menggunakan redaksi lain yang menurut
grametika Arab menunjukkan tuntutan harus dilakukan.
Sebagaimana yang dijelaskan secara gamblang oleh Wahbah Zuhaili
dalam kitabnya ushulul fiqh al-islami. Sedangkan hadis di atas hanya
menggunakan lafadz لن يفلح yang tidak
bisa difonis pada keharaman.
Menurut asbabun
wurud, hadis di atas merupakan komentar nabi pada bangsa Persia yang menjadikan
putrid kaisar menjadi ratu sehingga hadis ini tidak layak melebar pada
persoalan yang lebih luas yang kemudian dianggap khusus oleh Prof. Dr. M.
Quraish Sihab bagi bangsa Persia bukan untuk semua masyarakat dan bukan dalam
segala urusan.
Menurut wahbah
zuhaili kalau yang di jadikan alasan adalah karena lemahnya nalar perempuan,
sebagaimana yang dikemukakan ulama’ salaf, maka argument ini sudah tidak bisa
diterima karena pada zaman sekarang informatika sudah canggih berbeda dengan
wanita zaman dahulu, ketika kitab-kitab
fiqh dikarang pada abad pertengahan peran wanita dalam social-politik
terpinggirkan berbeda sekali ketika masa awal islam ketika para wanita bisa
mengakses informasi keilmuan kepada Rasul. Misalnya, siti Aisyah Beliau sampai
mampu meriwayatkan 2210 hadis tidak kalah dengan sahabat laki-laki, sekarang
ketika informatika telah mengglobal kondisi tersebut bukan tidak mungkin lagi
wanita masa kini sudah bisa mengases berbagai bidang keilmuan sehingga hilangah
asumsi bahwa wanita akalnya kurang.
Kemudian mengenai
argument yang kedua bahwa wanita berfisik lemah memang betul tapi kelemahan ini bisa tertutupi
dengan adanya transportasi, komunikasi dan menejemen yang baik sehingga
kelemahan itu tidak akan terlalu berpengaruh .
Orang
yang menganggap bahwa semua penguasa tertinggi yang berjenis kelamin perempuan
pasti akan gagal, itu salah besar, Bukankah Al-qur’an menguraikan betapa
bijaksananya Ratu Saba’ yang memimpin wilayah Yaman (Baca QS. An-naml (27): 44).
Kenyataan sejarah juga menunjukkan sekian banyak perempuan yang terlibat dalam
soal-soal politik praktis. Aisyah ra. Misalnya, bukankah istri Nabi SAW
meninggalkan rumah beliau di Madinah menuju ke Basrah di Irak untuk memimpin
pasukan melawan Ali Bin Abi Thalib. Kemudian bukankah dalam kenyataan dahulu
dan dewasa ini, sekian banyak perempuan yang memimpin berbagai Negara dan
berhasil dalam kepemimpinannya, melebihi keberhasilan dari sekian banyak kepala
Negara laki-laki?. Di masa modern ini, sebutlah sebagai contoh Margaret Tatcher
di Inggris, Indira Gandhi di India, Benazir Bhutto di Pakistan dan masih banyak
lainnya.
Kemudian tinggal
satu masalah lagi yakni larangan wanita keluar rumah mereka yang kontra dengan
kepemimpinan wanita berdalil ayat al-qur’an surta al-ahzab ayat 33, memang itu
adalah dalil yang jelas. Tapi, larangan keluar rumah itu kalau dengan mengumbar
aurat dan dengan berhias yang belebih-lebihan tapi kalau tanpa mengumbar aurat
dan tanpa behias belebih-lebihan, mengapa tidak! Dengan syarat harus mendapat
izin dari suami dan tanpa mengeyampingkan kewajibannya terhadap keluarga karena
mengurusi keluarga lebih wajib dari pada mengurusi umat.
No comments:
Post a Comment