Entri Populer

Saturday 8 June 2013

pemimpin wanita menurut islam



Pemimpin wanita, mengapa tidak!
Dewasa ini, semakin banyak orang perempuan yang “menampakkan diri” untuk menjadi menjadi pemimpin, bahkan sebagian mereka ada yang sudah diterima dan dipercayai oleh publik untuk menjadi pemimpin mereka, baik yang bersekala kecil, seperti kades, camat ataupun yang bersekala besar, seperti bupati, gubernur, perdana mentri bahkan presiden sekalipun, contoh Yingluck Shinawatara; perdana mentri wanita pertama Thailand, Tri Rismaharini; wali kota Surabaya, Sri Mulyani; direktur pelaksana bank dunia dan Megawati Sukarno putri; mantan presiden Indonesia yang sekarang masih menjabat sebagai ketua PDI Perjuangan. Mereka hanya sebagian kecil dari pemimpin-pemimpin perempuan yang kita ketahui saja, belum lagi meraka yang memimpin di lembaga-lembaga pendidikan, bisnis, organisasi kemasyrakatan dan lain sebagainya. belum lagi muncul  nama-nama baru yang sudah menyiapkan diri untuk tampil sebagai pemimpin-pemimpin wanita baru. Sebut saja Ani Yudhoyono, istri Presiden kita yang sudah ancang-ancang untuk mencalonkan diri sebagai suksesor sang suami, hampir sama dengan Tantriana Aminuddin, yang bahkan sudah melanjutkan estafet kepemimpinan sang suami Hasan Aminuddin sebagai Bupati Probolinggo. Ini menunjukkan bahwa kepemimpinan sudah tidak lagi dimonopoli oleh kaum pria.
Hal ini menimbulkan pro kontra antara yang setuju dan menolaknya dan menimbulkan beberapa pertanyaan, bagaimana sebenarnya pandangan islam terhadap kepemimpinan wanita? Bolehkah seorang wanita menjadi peimpin, kalau boleh apa argumentasinya? Jika tidak apa penyebabnya?
Hampir seluruh ulama’ fiqh (fuqoha’) yang melarang keterlibatan perempuan dalam hal kepemimpinan, mereka berlandaskan pada hadis yang diriwayatkan oleh Al-bukhori :
عن ابي بكرة قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لن يفلح قوم ولوا امرهم امراة (رواه البخاري)
“Diriwayatkan dari Abi Bakroh, Rasulullah SAW bersabda “tidak akan pernah bahagia suatu kaum yang menjadikan seorang perempuan memimpin urusan mereka”. (HR. Bukhari).
Di samping hadis ini mereka memaparkan argument penguat, mereka mengangap perempuan adalah makhluk tuhan yang lemah, lemah akal maupun lemah fisik. Sehingga, seorang wanita tidak diperbolehkan dalam segala bidang yang mengurusi  urusan orang banyak yang kemudian “dikerucutkan” oleh Abu Hanifah, beliau berpendapat bahwa seorang wanita boleh menjadi pemimpin tapi hanya sebagi hakim yang mengurusi perkara-perkara perdata saja. Akan tetapi ada  pula pendapat yang ekstrem yang di kemukakan oleh imam Jarir At-Thabari, beliau berpendapat bahwa seorang wanita boleh menjadi pemimpin di segala urusan kepemmpinan yang langsung difonis pendapat yang syadz dan menentang ijma’ oleh imam Al-mawardi dalam kitab Ahkam As-shulthoniyah .
Dari segi dalil hadits di atas tidak mencukupi syarat untuk melarang seorang wanita melibatkan diri di pos-pos kepemimpinan karena menurut ulama’ ushul fiqh (ushuliyyin) sebuah nash (Al-qur’an dan hadis) belum bisa dianggap larangan kecuali memuat setidaknya hal-hal berikut:
1.    Secara redaksional nash dengan tegas mengharamkan
2.    Nash dengan tegas melarangnya dengan bentuk nahi
3.    Nash diikuti oleh ancaman
4.    Menggunakan redaksi lain yang menurut grametika Arab menunjukkan tuntutan harus dilakukan.
Sebagaimana yang dijelaskan secara gamblang oleh Wahbah Zuhaili dalam kitabnya ushulul fiqh al-islami. Sedangkan hadis di atas hanya menggunakan lafadz  لن يفلح yang tidak bisa difonis pada keharaman.
            Menurut asbabun wurud, hadis di atas merupakan komentar nabi pada bangsa Persia yang menjadikan putrid kaisar menjadi ratu sehingga hadis ini tidak layak melebar pada persoalan yang lebih luas yang kemudian dianggap khusus oleh Prof. Dr. M. Quraish Sihab bagi bangsa Persia bukan untuk semua masyarakat dan bukan dalam segala urusan.
            Menurut wahbah zuhaili kalau yang di jadikan alasan adalah karena lemahnya nalar perempuan, sebagaimana yang dikemukakan ulama’ salaf, maka argument ini sudah tidak bisa diterima karena pada zaman sekarang informatika sudah canggih berbeda dengan wanita  zaman dahulu, ketika kitab-kitab fiqh dikarang pada abad pertengahan peran wanita dalam social-politik terpinggirkan berbeda sekali ketika masa awal islam ketika para wanita bisa mengakses informasi keilmuan kepada Rasul. Misalnya, siti Aisyah Beliau sampai mampu meriwayatkan 2210 hadis tidak kalah dengan sahabat laki-laki, sekarang ketika informatika telah mengglobal kondisi tersebut bukan tidak mungkin lagi wanita masa kini sudah bisa mengases berbagai bidang keilmuan sehingga hilangah asumsi bahwa wanita akalnya kurang.
            Kemudian mengenai argument yang kedua bahwa wanita berfisik lemah  memang betul tapi kelemahan ini bisa tertutupi dengan adanya transportasi, komunikasi dan menejemen yang baik sehingga kelemahan itu tidak akan terlalu berpengaruh .
Orang yang menganggap bahwa semua penguasa tertinggi yang berjenis kelamin perempuan pasti akan gagal, itu salah besar, Bukankah Al-qur’an menguraikan betapa bijaksananya Ratu Saba’ yang memimpin wilayah Yaman (Baca QS. An-naml (27): 44). Kenyataan sejarah juga menunjukkan sekian banyak perempuan yang terlibat dalam soal-soal politik praktis. Aisyah ra. Misalnya, bukankah istri Nabi SAW meninggalkan rumah beliau di Madinah menuju ke Basrah di Irak untuk memimpin pasukan melawan Ali Bin Abi Thalib. Kemudian bukankah dalam kenyataan dahulu dan dewasa ini, sekian banyak perempuan yang memimpin berbagai Negara dan berhasil dalam kepemimpinannya, melebihi keberhasilan dari sekian banyak kepala Negara laki-laki?. Di masa modern ini, sebutlah sebagai contoh Margaret Tatcher di Inggris, Indira Gandhi di India, Benazir Bhutto di Pakistan dan masih banyak lainnya.   
            Kemudian tinggal satu masalah lagi yakni larangan wanita keluar rumah mereka yang kontra dengan kepemimpinan wanita berdalil ayat al-qur’an surta al-ahzab ayat 33, memang itu adalah dalil yang jelas. Tapi, larangan keluar rumah itu kalau dengan mengumbar aurat dan dengan berhias yang belebih-lebihan tapi kalau tanpa mengumbar aurat dan tanpa behias belebih-lebihan, mengapa tidak! Dengan syarat harus mendapat izin dari suami dan tanpa mengeyampingkan kewajibannya terhadap keluarga karena mengurusi keluarga lebih wajib dari pada mengurusi umat.

No comments:

Post a Comment